Wednesday, September 16, 2009

Being Left Behind, Surprised in The End! (IPK Indonesia anjlok ????)

yBeberapa hari ini, aku memang ga beli koran atau nonton berita di TV. Ga tahu kenapa? yang pasti bukan karena sibuk oleh rutinitas Ramadlan (baca: emg aku orangnya males, hehe). Memang, akhir-akhir ini, aku sempat merasa muak mengikuti perkembangan di negeri ini, terutama ketika aku mendapat kabar para "binatang" yang akan berpestapora dengan anggaran uang kita sebesar Rp78,61 miliar. Alhasil, aku ketinggalan berita deh!
Hari ini,  16 September 2009, ya ± 10 menit sebelum aku mulai menulis ini, aku mengunjungi blog pribadiku, aku melirik feed dari detik.com. Eh, ternyata banyak sekali berita tentang penetapan dua pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, sebagai tersangka. Terkejut donk saya (duwaarrr...!), ada apa gerangan. Aku baca deh tuh detik.com. Ya ga tahu sih?! (namanya juga ketinggalan berita) berdasarkan berita yang aku baca, aku menyimpulkan bahwa penetapan dua pimpinan KPK tersebut dikarenakan mereka mencekal Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra--dua koruptor--ke luar negeri.  Hah?!!!! Kok bisa begini ya, koq bisa jadi tersangka (ga tahu juga tersangka apa, emg dasarnya ketinggalan berita). Konon, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto ditetapkan sebagai tersangka karena penyalahgunaan wewenang dalam mencekal dan mencabut pencekalan (sudah habis terkejutnya, aku anggap biasa saja deh, memang dari dulu juga yang ginian mah sudah biasa).  Pandangan pribadi saya ni ya, seharusnya tindakan pencekalan itu adalah tindakan yang benar, lho wonk Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto mau mengamankan koruptor supaya tidak kabur ke luar negeri. Tapi malah Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto jadi tersangka. "INSANE!" begitulah yang dikatakan Najwa Shihab melalui twitter.
Hmmm, aku ga bisa berkomentar apa-apa. Jadi mendingan aku mengutip komentar-komentar tokoh dan ahli hukum terkait penetapan tersangka dua pimpinan KPK oleh Polri yang dilansir detik.com. Dan berikut komentar mereka:
  • "Penetapan tersangka miskin bukti. Ada banyak hal yang bisa ditolak oleh pengadilan. Keterangan yang bersifat survei seperti testimoni Antasari, bukti awalnya nggak ada, Polri mempertaruhkan dirinya sendiri," kata kriminolog dari UI, Prof Dr Adrianus Meliala.
  • "Penetapan tersangka diduga adanya konflik kepentingan dari Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji, karena dia pernah disadap dalam kasus suap Bank Century. "Ya (copot Kabareskrim). Dia punya konflik kepentingan. Karena ponselnya disadap itu, seakan-akan dia balas dendam," ujar Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.
  • "Polri sebenarnya tidak punya kewenangan untuk mempersoalkan kewenangan KPK. Apa urusannya polisi urusi kewenangan KPK?" kata anggota Komisi III DPR Nursyahbani Katjasungkana. Menurut dia, kewenangan KPK dalam pencekalan bisa dipermasalahkan lewat proses praperadilan atau dibawa ke PTUN. "Pihak yang dirugikan bisa mempraparadilankan kewenangan KPK dalam pencekalan atau SK pencekalan dibawa ke PTUN. Kalau KPK tersangkut masalah penyuapan dan buktinya cukup, baru tidak apa-apa kalau diperiksa," kata Nursyahbani.
  • "Seharusnya polisi melakukan studi pustaka terlebih dulu sebelum menjerat dua pimpinan KPK dalam kasus penyalahgunaan wewenang. Kenapa pilihan polisi langsung membawa ke pengadilan? Dari segi kepatutan, kepantasan dan keperluan saya kira tidak ada itu," kata kata krimonolog Adrianus Meliala. Menurut dia,kalau masalahnya hanya soal kewenangan, seharusnya polisi bisa saja melakukan studi pustaka terlebih dulu. "Apakah KPK menyalahgunakan kewenangan, akan terbukti di studi tersebut. Dalam konteks KPK mencekal atau tidak mencekal, apakah KPK menggunakan hukumnya atau tidak, orangnya berwenang atau tidak, akan terbukti di situ," kata Adrianus.
  • "Penetapan tersangka terhadap dua pimpinan KPK terlalu terburu-buru. Penetapan tersangka terhadap pimpinan KPK terlalu prematur. Mengherankan bahwa karena pencekalan kedua orang itu (Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra) kemudian pimpinan KPK dijadikan tersangka penyalahgunaan wewenang," kata ahli hukum dari UI Mas Ahmad Santosa. Menurut Santosa, masyarakat melihat Anggoro dan Joko adalah 2 koruptor yang merugikan negara. "Seharusnya pencekalan kedua orang itu adalah tindakan yang benar. Kok justru kemudian mereka (KPK) dikatakan menyalahgunakan wewenang. Masyarakat kan jadi bingung," kata Santosa.
  • "Pasal yang dituduhkan kepada dua pimpinan KPK terlalu sepele. Kalau saya melihat pasal yang dikenakan terlalu sepele. Itu kan bisa kesalahan profesi. Ada etika di dalamnya. Nggak sampai gitu kalau dipidanakan," kata pengamat polisi, Bambang Widodo Umar.
  • "Pasal yang dituduhkan kepada dua pimpinan KPK tidak logis. Pasal tidak logis. Ini jelas kriminalisasi terhadap kewenangan KPK," kata Wakil Koordinator ICW, Emerson Yuntho.
  • "Sangat aneh Polri mengusut kasus kewenangan KPK. Menurut saya menyedihkan, karena ini kan dalam pelaksanaan kewenangan. Saya bisa terima kalau masih ada suap, korupsi, atau membunuh. Tapi kalau tiba-tiba menjalankan kewenangan terus dijadikan tersangka, sadis sekali," ujar Direktur Pukat UGM Zainal Arifin Muchtar.
Hmm, bagaimana sikap presiden kita--yang saat berkampanye pada Pilpres 2009 mendasarkan janji pemberantasan korupsinya pada kinerja KPK-- Susilo Bambang Yudhoyono? Katanya beliau masih diam. Ga mau "ngupat" di bulan puasa mungkin ya?! Takut pahala puasanya amblas. Hehe, dari dulu juga memang begitu beliau mah!
Walaupun, penetapan tersangka dua pimpinan KPK tersebut diprediksi membuat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia anjlok, kita mah tidak bisa apa-apa, nonton sajalah!

Saturday, September 12, 2009

Belajar Dari Tukang Benerin Pipa (Plumber)

Posting ini saya maksudkan untuk pembanding posting sebelumnya. Maksud saya, lakukan tugas anda dengan baik, jangan ujug-ujug duit. Kerja juga Belum!
Ini adalah sebuah kisah nyata yang inspiratif, di tulis oleh HERRY TJAHYONO, Corporate Culture Therapist & President The XO Way. Tulisan ini pernah pernah dimuat di harian KOMPAS, hal 7, 14 Feb 2009, dengan judul Melihat Lebih Jauh.  Sebenarnya dalam tulisan beliau terdapat dua buah cerita, namun saya lebih tertarik untuk mengutip satu cerita saja.
Alkisah, bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman sedang pusing karena pipa keran airnya bocor, ia takut anaknya yang masih kecil terjatuh. Setelah bertanya ke sana-kemari, ditemukan seorang tukang terbaik. Melalui pembicaraan telepon, sang tukang menjanjikan dua hari lagi untuk memperbaiki pipa keran sang bos. Esoknya, sang tukang justru menelepon sang bos dan mengucapkan terima kasih. Sang bos sedikit bingung. Sang tukang menjelaskan, ia berterima kasih sebab sang bos telah mau memakai jasanya dan bersedia menunggunya sehari lagi.
Pada hari yang ditentukan, sang tukang bekerja dan bereslah tugasnya, lalu menerima upah. Dua minggu kemudian, sang tukang kembali menelepon sang bos dan menanyakan apakah keran pipa airnya beres. Namun, ia juga kembali mengucapkan terima kasih atas kesediaan sang bos memakai jasanya. Sebagai catatan, sang tukang tidak tahu bahwa kliennya itu adalah bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman.
Cerita belum tamat. Sang bos demikian terkesan dengan sang tukang dan akhirnya merekrutnya. Tukang itu bernama Christopher L Jr dan kini menjabat GM Customer Satisfaction & Public Relation Mercedes Benz. Dalam sebuah wawancara, Christopher menjawab, ia melakukan semua itu bukan sekadar tuntutan after sales service atas jasanya sebagai plumber. Jauh lebih penting, ia selalu yakin tugas utamanya bukanlah memperbaiki pipa bocor, tetapi keselamatan dan kenyamanan orang yang memakai jasanya. Christopher melihat lebih jauh dari tugasnya.
Ada baiknya para anggota DPR belajar dari plumber ini!

Terus-terusan menonggakkan kepala, capek juga!

Capek rasanya leher ini kalau terus-terusan menonggakkan kepala ke "atas". Kelakuan para elite politik di atas memang sudah tidak masuk akal lagi. Di tengah-tengah duka beberapa saudara kita di pulau Jawa, para wakil rakyat  yang baru--yang kerja juga belum--malah mau berpesta. Biaya yang dianggarkan utntuk acara pelantikan DPR, DPD, dan DPRD pada 1 Oktober konon mencapai Rp78,61 miliar. Roy Salam, peneliti Indonesia Budget Center (IBC), mengatakan bahwa dana tersebut belum termasuk dana yang dianggarkan di sekretariat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kalau semuanya dicatat, biaya pelantikan dewan di seluruh Indonesia bisa mencapai ratusan miliar.
Konyol memang! Pelantikan yang mungkin hanya menelan waktu hitungan jam saja harus menghabiskan uang rakyat yang segitu besar. Seperti yang di lansir dalam harian Media Indonesia, untuk hadir dalam pelantikan, anggota DPRD di sebuah wilayah, misalnya, harus mengenakan PIN kecil yang harganya dibanderol Rp5 juta per orang, belum lagi baju dinas yang harus diapakai anggota DPRD yang rata-rata juga mencapai Rp5 juta per orang. 
Wajar tidak sih? Apa pentingnya PIN dengan biaya semahal itu? Apa harus uang rakyat yang dipakai untuk membeli baju dinas mereka? Mendingan uang-uang itu kita pakai buat rakyat kita yang kelaparan di Yahukimo, atau korban gempa di Jawa.
Lalu dimana pembuktian komitmen untuk mengabdi kepada masyarakat seperti yang selalu mereka jual di masa kampanye kemarin, belum juga kerja sudah dimanja.
Ingat!!! Pelantikan ini tidak lebih dari sebuah seremoni untuk pengambilan sumpah. itu juga kalau sumpahnya beneran. Lihat saja kinerja jeblok para wakil rakyat hasil pemilu 2004. Beberapa orang dari mereka berpindah kantor dari senayan ke penjara. Itu pun yang ketahuan dan diproses oleh hukum, yang tidak ketahuan dan tidak diproses oleh hukum lebih banyak lagi. Contohnya, kasus cek perjalanan yang diungkap Agus Condro sampai hari ini tak tahu bagaimana ujungnya.

Friday, September 11, 2009

Lutung Kasarung

Once upon a time, there lived a just and wise king named Prabu Tapa Agung. He ruled Pasir Batang. He was blessed with seven daughters. They were Purbararang, Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana, Purbamanik, Purbaleuih, and Purbasari, respectively. The most beautiful and kind-hearted was Purbasari. She was a ducky of all people in The Pasir Batang Kingdom.
Purbararang was engaged to Raden Indrajaya, a son of a royal minister. They were to whom Prabu Tapa Agung should’ve given up the monarchy; however, even he had been advanced in years, and it was the right time for him to abdicate. He was not convinced yet to let them rule the monarchy since neither one of them could be trusted. 
The sovereign felt Purbararang was a far cry from what he had expected to be a monarch. She was arrogant and cruel, while Indrajaya was dandified. He tended to care about his dress and jewelry more than the tranquility and prosperity for people. 
Facing that sort of thing, Prabu Tapa Agung often showed pensive sadness. And his queen did as well. They often talked it over, but no way-out could be figured out. However, presumably the king’s worry and confusion had been discovered by Sunan Ambu who resided in heaven called Buana Pada. One night, when he slept, Sunan Ambu said in his dream, “O, the wise king, no need to worry. It’s time for you to leave the throne to your youngest daughter, Purbasari. Do what you want to be hermit.” When he was up, all his worry disappeared. The counseling coming from heaven did relieve him and the queen. 
The day after, the sovereign had his seven daughters, his loyal councilman named Uwak Batara Lengser, prime minister, all members of cabinet minister, and other royal eminent figures get gathered. He announced Sunan Ambu’s notice from heaven that it’s time for him to abdicate and leave the throne to Princess Purbasari. All royal members heard the news joyfully, but Purbararang and Indrajaya. They got upset and were up to something to take over the throne from Purbasari. 
After Prabu Tapa Agung and his queen left the palace, Purbararang sprayed boreh, black chemical substance taken from plants, on Purbasari’s body and face. As a result, Purbasari looked dark and dull, and people in Pasir Batang couldn’t recognize her anymore. That was why no one could help her when she was sent away from the palace. On the other hand, ones who knew that the dull and dark woman was Purbasari were not brave to help her. They’re afraid of Purbararang who was famous for her cruelness. Even Uwak Batara Lengser couldn’t prevent what Purbararang had been doing. When Purbararang made him take Purbasari to the jungle, he did it. But, having arrived in the jungle, he made her a strong shelter. He also advised her politely, “My princess, be patient! Take the advantage of this ostracism to meditate to wish help and mercies from those who reside in heaven.”  His advice relieved her. She agreed to meditate. He promised her that he’d be frequently coming to visit and provide her logistics. 
While the Purbasari ostracism was happening on the earth called Buana Panca, something else’s happening in Buana Pada. For days Sunan Ambu had been worried because she hadn’t seen her son, Guruminda. Then she had the heaven dwellers find him. Soon a poet came and reported that Guruminda was by Eden. He added that Guruminda showed pensive sadness. Sunan Ambu requested the servant to tell Guruminda in order to come to her. Quite long, Guruminda didn’t come to see her that she reordered him to see her. Finally, he appeared. Yet, he didn’t act like he used to. He always bowed his head as if he was shy of his mother; however, he took a glance at her in her ignorance. 
She questioned him to see what had been going on. But, he didn’t give any answer. Soon she realized what had been happening to her son. She said, “I realize you’re 17. Is there any angel charming you? Let me know who she is, I’ll meet you to her.” Guruminda finally said something, even very slowly. “I don’t want you to meet me any angel, but she’s as beautiful as you are.” She’s surprised by what his son said. She said, “Guruminda, there’s no a girl who looks like me in Buana Pada, she’s on Buana Panca Tengah. Go get her, but not as Guruminda. You have to be lutung[1] in disguise.” 
Afterward, Guruminda turned into a lutung. “My son, please go to Buana Panca Tengah, my love will always be with you. Now, your name is Lutung Kasarung.” said Sunan Ambu. Guruminda was so surprised and sad when he became a lutung. He thought he’d been cursed by his mother because of his insolence. He could only bow his head. “Go, my son. The girl is waiting for you and needing your help.” said Sunan Ambu. Then he left Buana Pada. He jumped from one cloud to another till he landed on Buana Panca. He started to find the girl that his mother meant. 
*****

In Pasir Batang, Purbararang made Aki panyumpit catch a lutung to be sacrificed in a ceremony. “Aki, you have to catch a lutung this noon; otherwise, you’ll be the sacrifice.” said Purbararang. Being so much worried, Aki Panyumpit hurried to a jungle, yet he couldn’t find any animal. Lutung Kasarung had told all animals in the jungle to hide themselves just before Aki Panyumpit came in. 
Realizing he would be sacrificed, Aki Panyumpit sat under a tree in desperate. At that time, Lutung Kasarung showed up that Aki Panyumpit hastily grabbed his sumpit[2] and tried to shoot him. “Don’t hurt me!” said Lutung kasarung. Aki Panyumpit was surprised to see a lutung talking. “Why do you look so sad?” he continued. Aki Panyumpit told Lutung Kasarung what he had been through. “Bring me to your queen, then!” said Lutung Kasarung. Surprisingly, Aki Panyumpit didn’t agree with him. “No, I won’t. I don’t want you to be sacrificed!” he said. Lutung Kasarung hardly tried to convince him. “Don’t worry, get me to the palace!” he said. “Alright, then!” Aki Panyumpit replied. Then, they went to Pasir Batang. 
Having arrived in the palace, the soldiers tied Lutung Kasaruung and now were ready to kill him. Purbararang, Indrajaya, and all eminent royal members were there. The five princesses, Purbararang’s sisters were as well. A spiritual leader led the ceremony. He started reciting prayers. At the same time, a soldier with a sharp knife on his hand was ready to execute him. He held Lutung Kasarung’s head. And suddenly, Lutung Kasarung squirmed. Ropes tying him up were slowly broken off, and he freed. Then he messed the ceremony chaotically. The soldiers tried to put him down, but no one could. Everybody screamed in fear. Purbararang lost her temper, and shouted, “Kill him!” Some soldiers surrounded him again. Lutung Kasarung attacked them that they ran away hither and thither. 
Uwak Batara Lengser got closer to him, and said, “Come here, lutung. Don’t make everyone frightened!” surprisingly he didn’t react as he did to the soldiers. He sat in front of Uwak Batara Lengser. Purbararang saw the phenomenon from the distance, and then she’s up to something. She thought she would use the wild lutung to kill Purbasari. She told Uwak Batara Lengser to send him to the jungle where Purbarsari was. Uwak Batara Lengser did know what’s on Purbararang’s mind; however, he saw something good in Lutung Kasarung. He didn’t think Lutung Kasarung would hurt Purbasari. That was why he gave him his hand, and guided him to the jungle where she belonged. 
Having arrived in the jungle, Lutung Kasarung saw an ugly girl. “That’s Princess Purbasari. She’s a nice girl, you have to take care of her!” said Uwak Batara Lengser. “Yes!” he replied. Uwak Batara Lengser and Purbasari looked at him talking astonishingly. And then Uwak Batara Lengser said “May you’re sent from above to bring the virtue for all of us!” 
After Uwak Batara Lengser left, Lutung Kasarung asked the animals in the jungle to collect fruits and flowers for Purbasari. She’s very happy for that. She’s not in solitude anymore. Not only Lutung Kasarung, but also the other animals like birds, squirrel, and deer were around her shelter. 
When the night came around, Lutung Kasarung begged his mother’s help that she told magical poets to go to Buana Panca and help her son. Soon they arrived in the jungle. Lutung Kasarung had them make a bathroom for Purbasari. Some poets made a bathroom called Jamban Salaka, place where Purbasari could take a bath. The tap was made from gold, the floor and the wall from marble. The water came from clear wellhead and was retained in a small body of water where flowers were poured on it. Some other poets got dress ready for Purbasari. It was made from cloud and colors from rainbows. No dress was as beautiful as it was on earth. 
The day after, Purbasari saw Jamban Salaka and the dress in surprise. “They are gift for you from Buana Pada!” said Lutung Kasarung. “And you, yourself, are gift from Buana Pada to me, Lutung” she replied. Then she came into Jamban Salaka. 
The water at Jamban Salaka had a magical power. When she took a bath, she turned back into what she looked like before Purbararang sprayed her boreh. She thanked to heaven for the blessing. Afterward, she wore the dress. She was so much impressed by the beauty of it, and then she came out of Jamban Salaka. Lutung Kasarung was impressed to see her. In his mind, he said, “Princess Purbasari, you so much look like my mother, you’re merely younger!” 

*****
Purbararang heard strange news. People who customarily went hunting to the jungle talked much about the jungle that turned into wonderful parkland, about an ugly girl’s shelter that turned into small palace with a beautiful bathroom, and about a scary huge lutung that prevented them coming into the parkland mentioned. Purbararang thought there were some noblemen that helped Purbasari in her ignorance. She said in her mind, “if Purbasari is supposed open huma[3] of 500 fathoms in a day, she won’t make it. There won’t be any noblemen who are brave to help her, while I can easily make my soldiers clear thousands of fathoms. I have to challenge her!” 
Purbararang finally sent Uwak Batara Lengser to challenge Purbasari. She had to open huma of 500 fathoms before the dawn; otherwise, she would get death sentence. Purbasari was in tears when she heard from Uwak Batara Lengser. “Don’t worry, my princess! Plesase come into your palace and leave this to me” said Lutung Kasarung. 
Afterward, Lutung Kasarung asked his mother’s help. Sunan Ambu sent forty poets to help him clear the landmass which was near by the place where Purbasari was. Meanwhile, Purbararang made a hundred of soldiers clear a landmass in the jungle which was near by the place where Purbasari belonged as well. They had to make it before dawn, or they would get death sentence. Being so much worried, they hurried to the jungle. 
The day after, when the sun came up, Purbarang went to the jungle in a large group. She sat on a luxurious litter, while her fiancé, Indrajaya rode a horse. The five princesses, some noblemen hundreds of soldiers and a executioner were in the group. Purbararang was convinced that it would be the last day for her youngest sister, Purbasari. However, she and her group were shocked when they arrived in the huma the soldiers opened. They saw another huma, and even better than the huma the soldiers opened.  There stood Uwak Batara Lengser. “My queen, this is Purbasari’s huma!” he said. Purbararng was so much disappointed, embarrassed, upset, and then shouted; “Now I want Purbasari to contest her beauty with me, and you, people, are the judges!” She thought Purbasari was still ugly. 
Uwak Batara Lengser asked Purbasari to come out of her small palace, and when she showed up, everyone was dazzled by her bright appearance. “As if I saw Sunan Ambu on earth” said a nobleman. Purbararang didn’t lose her grip. She just realized that she had a slim waist. She shouted, “Everyone, look at this, the belt I’m wearing. I have five holes left. I want Purbasari to wear it, and if she has less then five holes left, she’ll be death sentenced! Purbararang threw her belt to Purbasari, and surprisingly, Purbasari had seven holes left when she wore it. Purbararang got so much embarrassed, but she shouted again, “I have one more contest!” She was now sure she would win, and then she laughed out loud. Everyone looked at her in astonishment. “What contest, sister?” one of her sister asked. Purbararang smiled. “Look! You all have to compare which one of our would-be husbands is the best-looking. Look at my fiancé, Indrajaya! What do you think? Is he handsome? Everyone answered, “He is!” Purbarang was not satisfied, she shouted, “Louder!!!” 
“He really is, my queen!” Everyone shouted louder than ever. “So, who is your would-be husband, Purbasari?” Purbararang asked. “Your would-be husband is no one but that lutung!” She continued, than laughed out loud. Purbasari was so silent, she couldn’t give any answer. She stared at Lutung Kasarung. “Yes, you will be my husband, lutung!” 
Suddenly, Lutung Kasarung turned back into Guruminda. Everyone was impressed by the way he looked. He held Purbasari’s hand and said, “Listen, everyone! Now I’m Purbasari’s would-be husband, and she is your queen. Purbararang took over the throne from her, and you, Indrajaya, as Purbararang’s would-be husband, you must be at her side. So, let’s fight, Indrajaya!” 
Astonishingly, Indrajaya didn’t want to have fight against Guruminda, he got down his knees and begged Guruminda’s mercy, instead. Purbararang cried and begged Purbasari’s forgiveness. She and her fiancé finally gave up. 
At that day, Purbasari took back her throne. Purbararang and Indrajaya were punished to be cleaning woman and man. People in Pasir Batang relieved. They were now free from Purbararang’s pressure. They could live as they did in Prabu Tapa Agung’s time. 
Being helped by Guruminda, Purbasari ruled the Pasir Batang Kindom. She was very wise, and people got their prosperity.

*****
The End


[1] black or gray long-tailed monkey
[2] blowpipe
[3] Newly cleared land for agriculture.

Sunday, September 6, 2009

Hujan Terlanjur Tumpah

 








         


- Untuk Wiwit


aku ingin pergi ke rumah itu; katamu
malu-malu. mungkin kau lupa
aku bukan anak kecil lagi
lebih dari 286 purnama kulewati

pergilah! tak usah kau berkelakar

sekalipun begitu indah kau membungkus
hujan. bagiku, seribu nyanyian
tak’kan mampu menghibur luka

wit, tetaplah jadi kupu-kupu indah
yang bertualang di taman cinta

biarlah aku disibukkan mimpi-mimpi
yang selalu aku bisikan pada angin
yang menerpa tubuh kita dalam
perjalan unpas-ciparay
karena tanah terlanjur basah


Kasur Lamunan, Juni 08

Tuesday, September 1, 2009

Perjalanan Seperempat Abad

        - n-25 = ajalku


dentang jam tengah malam
menggenapkan pengembaraan seperempat abad
semenjak tangisku disambut
lantunan adzan. aku terbangun
"sudah jam 12" bisikku pada guling

malam berlabuh di kamarku penuh kesepian
tak ada nyanyian. seperti biasa
seperti tahun-tahun sebelumnya
hanya dua pohon mangga dan jambu di halaman
yang bertepuk tangan. pun itu atas saran angin
lalu seekor nyamuk letih sehabis bertasbih
hinggap di lengan kiriku. "aku haus,
izinkan aku mereguk sedikit darahmu" pinta
seekor nyamuk. "jangan!" teriakku
"darahku kotor, di dalamnya mengalir tangis
seorang yatim yang rotinya aku makan kemarin
pagi" sambungku, lirih. dan aku menangis
untuk berbagai kekalahanku di medan laga

di atas sajadah, kurayakan
malam. padaNya aku bersimpuh
lalu membangun sujud. sementara
ucapan selamat lewat sms, juga
wallpost situs jejaring facebook
datang berulang-ulang
bak panggilan dari liang lahat

Kasur Lamunan, 010909