Tuesday, February 16, 2010

Saya Pindah Blog

Saya pindah blog, silahkan klik di sini untuk mengunjungi blog saya yang baru.

Trims!!!

Saturday, January 9, 2010

Jual Belilah Dengan Allah! Lebih Menguntungkan ...

Visiting relatives can be a nuisance! Bagi teman-teman yang sekampus (sejurusan pula tentunya) dengan saya dan pernah dan, atau sedang diajar Grammar sama Pak Odo, mungkin ungkapan dalam Bahasa Inggris itu sudah tidak asing lagi. Itulah kalimat yang suka ditulis di papan oleh beliau sebagai contoh dari undang-undang ulama ahli Grammar yang bunyinya: “one surface structure may have two conceptual structures” di mana kalimat tersebut bisa memiliki dua arti yang sedikit overlap, baik ‘mengunjungi saudara’ maupun ‘saudara yang berkunjung’, dua-duanya sama-sama bisa nyusahin.

Bagi orang timur, ungkapan di atas memang cukup makes sense! Adalah—menurut adat kebiasaan orang timur—suatu “kewajiban” untuk menjamu tamu, sama halnya “wajib” hukumnya dengan membawa sesuatu bagi orang yang berkunjung. Harus diakui apabila adat kebiasaan seperti ini terkadang memang sedikit merepotkan. Bayangkan suatu kondisi di mana keluarga anda sedang mengalami kesulitan ekonomi, lalu tiba-tiba ada tamu yang berkunjung ke keluarga anda. Dapat saya pastikan kalau keluarga anda akan melakukan hal yang terbaik untuk menjamu tamu tersebut walaupun dalam kondisi ekonomi yang sulit. Entah bagaimana caranya, ngutang sama tetangga atau warung terdekat, atau membuka celengan yang memang segitu-gitunya. Semuanya akan dilakukan untuk menyediakan santapan (baca: jamuan) yang terbaik bagi tamunya. Itulah mungkin dalam Bahasa Sunda ada istilah lain untuk tamu, yaitu ‘semah’ yang merupakan akronim dari ‘ngahesekeun nu boga imah’ (nyusahin yang punya rumah).

Walaupun bagi sebagian kalangan, pola kebiasaan ini sudah tidak lagi berlaku, namun bagi sebagian besar lagi hal ini masih tetap melekat sebagai adat kebiasaan yang diwarisi dari generasi-generasi sebelum mereka.

Sebenarnya nyusahin apa tidaknya, itu tergantung dari perspektif mana kita melihat dan bagamana kita menyikapinya. Mungkin ini adalah bukti keberhasilan guru-guru Matematika kita, atau memang fitrahnya manusia yang selalu “berhitung.” Daya nalar matematis kita liar menghitung sejumlah rupiah yang kita gelontorkan untuk menjamu tamu-tamu itu. Andai saja kita adalah penjual makanan, dan tamu-tamu itu adalah pembelinya, pasti akan menguntungkan. Pertanyaannya adalah apakah menjamu tamu itu adalah suatu KERUGIAN? Apabila hukum ‘jual beli’ kita terapkan di sini, seorang anak kecil pun akan tahu jawabannya, YA! Bagamanapun juga, menjamu tamu itu adalah suatu pengeluaran yang tidak menghasilkan.

Dalam hal ini saya ingin menyampaikan pandangan; KERUGIAN itu hanya akan timbul apabila hukum ‘jual beli’ yang kita terapkan adalah hukum ‘jual beli dengan sesama manusia’. Tetapi coba kita terapkan hukum ‘jual beli dengan Tuhan’ dalam kasus ini. Tidak akan ada kata rugi, yang ada malah untung, bahkan lebih menguntungkan dari pada keuntungan yang akan kita peroleh apabila kita memang benar-benar pedagang dan tamu-tamu kita adalah pembelinya.

Coba kita cermati beberapa hadist di bawah ini yang saya salin dari درةالناصحين

عن النبي عليه الصلاة والسلام أنه قال: من أنقق علی الضيف درهما فكأنما أنفق ألف درهم فی سبيل الله

Dari Nabi (Muhammad) SAW, sesungguhnya beliau berkata: Barang siapa yang berinfaq kepada seorang tamu satu Dirham, maka seolah-olah dia berinfaq seribu Dirham di jalan Allah.

Alangkah menguntungkan! Kita jual satu, Allah membayar seribu. Adakah jual beli yang se-menguntungkan ini dalam hukum jual beli dengan sesama manusia?

وقال النبي عليه الصلاة والسلام :ما من احد يأتيه الضيف فأكرمه إلا فتح الله له بابا من الجنة

Dan berkata Nabi SAW: Tak satu orang pun yang kedatangan seorang tamu, terus dia memuliakan tamu tersebut, terkecuali Allah membukakan pintu sorga baginya.

Bisakah kita menilai harga sorga dengan nilai mata uang? Adakah jual beli yang se-menguntungkan ini dalam hukum jual beli dengan sesama manusia?

عن النبي عليه الصلاة والسلام أنه قال:أخبرنی جبرائيل عليه السلام فقال: إن الضيف إذا دخل علی أخيه المسلم دخلت معه ألف بركة وألف رحمة وغفر الله ذنوب أهل ذلك البيت ولو كانت ذنوبهم أكثر من زبد البحر وورق الأشجار وأعطاه الله تعلی ثواب ألف شهيد وكتب له بكل لقمة أكلها الضيف ثواب حجة مبرورة وعمرة مبقبولة وبنی الله له مدينة فی الجنة, ومن أكرم ضيفا فكأنما أكرم سبعين نبيا

Dari Nabi SAW, sesungguhnya beliau berkata: Jibril A.S. memeberitakan kepadaku: sesungguhnya seorang tamu, tatkala dia masuk ke dalam rumah saudaranya yang muslim, maka ikut masuk berserta tamu tersebut seribu berkah, dan seribu rahmat. Dan Allah SWT akan mengampuni segala dosa penghuni rumah itu, walaupun dosa-dosanya itu lebih banyak dari buih lautan, dan lebih banyak dari daun-daun pepohonan. Dan Allah Ta’ala akan memberikan dia (saudaranya yang muslim)*) pahala seribu orang yang mati syahid, dan Allah mencatat dari setiap suap yang dimakan oleh tamu tersebut pahala haji mabrur, pahala ‘umroh maqbul dan Allah SWT akan membangunkan sebuah kota bagi dia (saudaranya yang muslim)sebuah kota di sorga, dan barang siapa yang memulyakan seorang tamu, maka seolah-olah dia memuliakan 70 orang Nabi.


*) Yang dimaksud dengan saudaranya yang muslim dari terhemahan hadist di atas adalah tuan rumahnya.

Membaca hadist yang terakhir ini, saya benar-benar speechless! Silahkan anda hitung sendiri (kalau anda mampu) keuntungan dari sekedar memuliakan tamu.
Begitulah balasan dari Allah apabila kita melayani tamu dengan penuh keikhlasan, tanpa memperhitungkan nilai-nilai ekonomis yang—secara perhitungan nalar matematis manusia—terbuang cuma-cuma.

Lalu bagaimana dengan seorang tamu yang berkunjung ke rumah saudara atau rekannya? Dia juga kan sama-sama berkorban. Setidaknya tenaga, waktu, dan biaya untuk transportasi. Adakah keuntungan serperti keuntungan si tuan rumah?
Dalam beberapa hadist yang memang sudah masyhur, dikatakan bahwa diantara fadlilah dari bersilaturahmi adalah dimudahkan dalam rizki dan dipanjangkan umur.
Berikut adalah hikayat yang saya salin dari إرشاد العباد :

Diriwayatkan bahwa malaikat maut telah mengabarkan pada Nabi Daud A.S. bahwa dia telah menggemgam ruh seorang lelaki dan lelaki itu akan meninggal dalam waktu 6 hari. Setelah beberapa saat yang cukup lama, Nabi Daud A.S. bertemu dengan lelaki tersebut. Ternyata dia masih hidup. Lalu Nabi Daud A.S. menanyakan hal ini kepada malaikat maut, dan dia menjawab: sesungguhnya kita lelaki itu ketika tidak berada di sampingmu, dia melakukan silaturahmi yang selama ini terputus (tak pernah dia lakukan), maka Allah SWT memanjangkan (menambah) umurnya 20 tahun lagi.

Sekarang, apakah kita masih memperhitungkan nilai-nilai ekonomis?

Thanks to Hadi Permana dan keluarganya, saya telah menjadi semah di rumah kalian selama bertahun-tahun, dan kalian adalah tuan rumah terbaik yang pernah saya kunjungi.
برك الله في عمركم ورزقكم آمين

Tuesday, December 1, 2009

The Bandung Legend

It’s said that “Bandung” was derived from the word “Banding” (Sundanese) meaning to be contiguous or to be side by side. This is stated in Kamus Besar Bahasa Indonesia: Balai Pustaka (1994) as well as in Kamus Sunda-Indonesia: Pustaka Setia (1996). Some said “Bandung” was derived from the word “Bandeng” meaning to be wide. In Sundanese, “ngabandeng” means a wide puddle of water. Some other said “Bandung” was derived from the word “Bendung” meaning dam. It’s told that the Citarum Purba River located Padalarang was dammed by lava coming from Mount Tangkuban Parahu Purba. As a result, the area between Padalarang and Cicalengka, and between Mount Tangkuban Parahu Purba and Soreang was flooded and became a large lake which was later called the Bandung Lake or the Bandung Purba Lake. Based on geological research, the flood started to subside gradually in Neolithic Age (± 8000-7000 BC).
It’s told that Mount Tangkuban Parahu (upside down boat) was the reflection of unfulfilled love of a physically strong son, Sangkuriang. It was also narrated that the story of Tangkuban Parahu began long time ago when Sunda was ruled by a king whose daughter was smart and beautiful called Dayang Sumbi. Dayang Sumbi was spoiled and short temper.
Dayang Sumbi unintentionally dropped her ball of twine when she was knitting one day. She was really mad at herself for being careless and said that one who took her the twine would be her sister if she’s a woman and her husband if he’s a man. Surprisingly, a male dog took it. Somehow, the dog was a cursed god sent from above to the earth. Dayang Sumbi had to keep her words and finally married the dog named Tumang.
They, Dayang Sumbi and Tumang, lived together merrily and had a son named Sangkuriang. As he was a son of god, Sangkuriang inherited supernatural power possessed by god.
One day, Dayang Sumbi had Sangkuriang get her deer liver for a ceremony. Soon, Sangkuriang went hunting to a jungle accompanied by his dog which was his father, Tumang. They explored all over the jungle, yet they couldn’t find any deer. Having all day long explored the jungle without anything to bring home, Sangkuriang began to panic. He’s afraid his mother would get mad at him because he couldn’t bring her deer liver. In his hopelessness, Sangkuriang took his arrow, shot Tumang and got his liver. Sangkuriang soon went home with Tumang’s liver on his hand.
Dayang Sumbi, saw him in wonder when he came home without Tumang and asked him where the dog was. Sangkuriang told her that Tumang is killed by a tiger; however, Dayang Sumbi wasn’t all that easy to believe, she kept questioning about Tumang. Finally, Sangkuriang told her the truth. She completely lost her temper just after Sangkuriang told her what he’d done to Tumang that she couldn’t control of herself and hit Sangkuriang’s head with the dipper she was holding. As a result, Sangkuriang ran away from her while she could only cry regretting things were going.

***

Time went by; Sangkuriang grew up and turned into a very good-looking and brave man. One day, he met a really beautiful woman. Sangkuriang didn’t know that the woman was his own mother, Dayang Sumbi, as well as she didn’t that finally Sangkuriang proposed marriage to her. A day just before wedding, Dayang Sumbi just noticed that Sangkuriang was her son. When she combed Sangkuriang’s hair, she found a scar on a part of his head which she hit before Sangkuriang ran away. She was definitely surprised. She told Sangkuriang that she was his own mother and tried to cancel the marriage; howover, Sangkuriang didn’t believe her. Dayang Sumbi finally proposed Sangkuriang a requirement impossible for him to do that she could easily cancel the marriage when Sangkuriang failed to fulfill the requirement. She asked him to make her a lake and a boat which were to be accomplished before the dawn came around. With his supernatural power and being helped by genies, he started doing these two projects. He dammed up the river with logs, stones, and mud. The river got stuck and shaped a big lake. Sangkuriang, then, cut down a big tree and started to make a boat. In the meantime, Dayang Sumbi pled the gods in heaven for the sun rise sooner than ever. Her request was granted that the genies disappeared for the dawn had come around. As a result, Sangkuriang failed in fulfilling the requirement offered by Dayang Sumbi. Sangkuriang got mad at himself, and kicked the undone boat that it became upside down. He dressed down the gods that they got angered and made the earth swallow him. At that moment, Sangkuriang realized that he was wrong.
It’s said that the upside down boat gradually became a mountain which people now call it Mount Tangkuban Parahu (upside down boat).

***
The End